nasta rofika

kaum muda yang diperlukan adalah orang-orang yang mampu memimpikan sesuatu yang tak pernah diimpikan oleh siapapun (John. F. Kennedy)

Welcome my friends.. :)

Where there's a will,there's a way. You're What you thinking of ;)

Jumat, 15 Oktober 2010

Indonesia, jangan tidur...

SURABAYA - Pemandangan menarik terlihat di sepanjang jalan depan kampus Hang Tuah keputih sekitar pukul 10 malam. Yaaah, seorang bapak tua rambutnya setengah putih berjalan letih memikul sesuatu di pundaknya. Diantara remang-remang lampu depan kampus yang setengah nyala dan setengahnya lagi padam. Terlihat dagangan krupuk samiler -krupuk yang terbuat dari ketela- yang dipikulnya masih tiga perempat penuh lebih. Sempat saya mengingat, ternyata dia Pak penjual krupuk samiler yang kerap kita jumpai menjajakan dagangannya disekitar fakultas MIPA ITS, yang malam ini harus menjajakan dagangannya hingga larut malam. Pertanyaan mendasar setiap orang jika melihat pemandangan seperti itu, apa nggak laku dagangannya hari ini, sampai harus berjualan larut malam? Tuhan, berapa rupiah yang dia dapat sehari ini? Bagaimana dengan keluarga yang menanti dirumah?

Pemandangan yang cukup tragis bukan? Dia bahkan lebih mulia dari orang lain yang lebih kuat yang memilih menyerah dan sekedar menjadi peminta-minta atau pengamen, menggantungkan hidup pada uluran tangan orang lain, entah ikhlas atau tidak, yang penting dapat. Tapi, tidak dengan bapak tua itu, perjuangan hidup.

Sekarang kita beralih pada diri kita sendiri. Apa kita sudah berjuang? Bapak tua penjual krupuk samiler, menjajakan dagangan hingga malam hari, untuk isi dandang esok pagi, untuk bayar sekolah anaknya esok hari, uang saku anak-anaknya mungkin. Betapa malunya ketika kita menyadari sudah berapa banyak absen bolong selama satu semester, berapa banyak kita menitip absen teman sebelah, dan berapa besar orang tua kita mengeluarkan uang untuk biaya tiap bulan dan tiap semester. Perjuangan???????

Bapak krupuk samiler, harus ikhlas menerima kondisi hidup yang harus ia jalani sekarang karena rendahnya pendidikan. Pendidikan di Indonesia yang lambat laun dikomersialisasikan. Malang benar nasib anak pribumi, anak petani yang ingin mengenyam bangku kuliah kalau pendidikan dewasa ini jadi ajang kompetisi si konglomerat.

Yah, kalau dipikir-pikir gampang banget yah tukang pencetak uang negara mengucurkan dana triliunan untuk segelintir orang yang “tendensius”. Kasihan juga yah nasib bapak tua, petani desa, dan orang Indonesia tertindas lainnya yang tidak tahu menahu bahwa negaranya sedang diacak-acak, dijajah oleh bangsanya sendiri. Tragis. Dan betapa malunya kita saksikan di layar kaca orang-orang pintar milik Indonesia saling beradu argumen, saling mengolok satu sama lain. Sedangkan rakyatnya, melongo “ada apa?” hanya mampu berdoa, semoga esok pagi isi dandang tetap ada.
Kita selalu berebut makan, padahal perut sudah kenyang. Kita selalu mengeluh, padahal nasib mereka tak lebih baik dari kita. Para elite politik berebut kekuasaan dan jabatan padahal sudah mapan, dan peduli syetan.

Nasta Rofika, 18 januari 2010
23:59

Tidak ada komentar: